BLOG INI TELAH DI KUNJUNGI PELAWAT DARI NEGARA - NEGARA BERIKUT

free counters

Total Pageviews

Saturday, September 25, 2010

KARL MARX AND FIDEL ENGELS

Caption From the Picture : Statue of Marx and Engels in Alexanderplatz, Berlin The statues acquired the unofficial nickname "the Pensioners," and were also said to be sitting on their suitcases waiting for permission to emigrate to the West.


Marx and Engels' work covers a wide range of topics and presents a complex analysis of history and society in terms of class relations. Followers of Marx and Engels have drawn on this work to propose a political and economic philosophy dubbed Marxism.
Nevertheless, there have been numerous debates among Marxists over how to interpret Marx's writings and how to apply his concepts to current events and conditions (and it is important to distinguish between "Marxism" and "what Marx believed."
Essentially, people use the word "Marxist" to describe those who rely on Marx's conceptual language (e.g. means of production, class, commodity) to understand capitalist and other societies, or to describe those who believe that a workers' revolution is the only means to a communist society.
Marxism has influenced Christian thought, too, especially liberation theology, which argues in favor of God's special concern for, or bias towards, the poor and advocates that when the poor become conscious of their exploitation, they will then be empowered to demand and achieve their rights. Liberation theologians do not necessarily support violence as part of this process, although many have.
Six years after Marx's death, Engels and others founded the "Second International" as a base for continued political activism. This organization collapsed in 1914, in part because some members turned to Edward Bernstein's "evolutionary" socialism, and in part because of divisions precipitated by World War I.

Wednesday, September 22, 2010

PARAKU-PGRS : KAMBING HITAM PASKA KONFRONTASI RI - MALAYSIA

Habis manis sepah dibuang. Itulah nasib tragis ratusan gerilyawan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara atau Paraku-Pasukan Gerakan Rakyat sarawak atau PGRS dukungan intelijen militer Indonesia semasa Presiden Soekarno mencanangkan konfrontasi menentang pembentukan Malaysia tahun 1963. Ketika Soekarno menyatakan "Ganyang Malaysia" tanggal 27 Juli 1963, relawan Indonesia dan gerilyawan Paraku-PGRS menjadi Pahlawan Indonesia. Paraku-PGRS menjadi momok menghantui pasukan Malaysia, Brunei, Inggris, dan Australia saat bergerilya di perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak. Ketika Soeharto tampil sebagai penguasa yang berdamai dengan Malaysia, Paraku-PGRS pun digempur habis dan disertai kerusuhan anti Tionghoa di Kalimantan Barat tahun 1967 sebagai harga rekonsiliasi Jakarta - Kuala Lumpur.
Paraku-PGRS terlupakan dalam lembaran sejarah seiring kukuhnya Orde Baru dan baru muncul kembali dalam pembicaraan Indonesia-Malaysia dalam Joint Border Comitee (JBC) di Kuala Lumpur awal Desember 2007.Peneliti kekerasan terhadap Tionghoa, Benny Subianto, menjelaskan, ada benang merah dalam pemberantasan Paraku-PGRS dan kekerasan terhadap penduduk Tionghoa di Kalimantan Barat yang dikenal sebagai peristiwa "Mangkok Merah"
"Demi menghabisi Paraku-PGRS akhirnya dikondisikan kerusuhan anti Tionghoa. Sebelumnya Dayak, Melayu, dan Tionghoa hidup bersama secara damai di Kalimantan Barat," kata Benny.
Keberadaan Paraku-PGRS diakui sebagai buah karya kebijakan militer Indonesia. Buku Sejarah TNI Jilid IV (1966-1983) halaman 116-125 mencatat embrio Paraku-PGRS adalah 850 pemuda Cina Serawak yang menyeberang ke daerah RI saat terjadi konfrontasi dengan Malaysia.
Buku Sejarah TNI menyebut mereka adalah orang-orang Cina pro Komunis. Pemerintah RI melatih dan mempersenjatai mereka secara militer dalam rangka Konfrontasi Indonesia-Malaysia.

Lebih lanjut dijelaskan, mereka dibagi menjadi dua kesatuan, yaitu Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku). Kedua pasukan dikoordinir oleh Brigadir Jendral TNI Suparjo, pejabat Panglima Komando Tempur IV Mandau, berpusat di Bengkayan, Kalimantan Barat.

Bersama relawan dari Indonesia, Paraku-PGRS yang juga menghimpun Suku Melayu dan Dayak berulangkali menyusup wilayah Serawak dan bahkan Brunei. Salah satu tokoh Revolusi Brunei tahun 1962, Doktor Azhari, yang juga pimpinan Partai Rakyat Brunei diketahui dekat dengan kubu gerilyawan ini.
Benny Subianto dalam laporan ilmiah itu menjelaskan, banyak pemuda Tionghoa di Sabah, Serawak, dan Brunei menolak pendirian Malaysia karena takut dominasi Melayu terhadap wilayah Sabah, Serawak, dan Brunei.
Gerilyawan Paraku-PGRS dalam laporan Herbert Feith di Far Eastern Economic Review (FEER) edisi 59 tanggal 21-27 Januari 1968 dilukiskan hidup bagai ikan di tengah air terutama di antara masyarakat Tionghoa Kalimantan Barat yang waktu itu hidup tersebar di pedalaman.
Benny Subianto menambahkan betapa gerilyawan Paraku-PGRS dan relawan Indonesia menghantui wilayah perbatasan. Bahkan, mereka nyaris menghancurkan garnisun 1/2 British Gurkha Rifles (1/2 GR) dalam serangan terhadap distrik Long Jawi (sekitar 120 kilometer sebelah barat Long Nawang, Kalimantan Timur). Selama berbulan-bulan mereka juga menghantui jalan darat Tebedu-Serian-Kuching (dekat pos perbatasan Darat Entikong) selama berbulan-bulan pada paruh pertama tahun 1964.
JP Cross dalam buku A face Like A Chicken Backside-An Unconventional Soldier In Malaya and Borneo 1948-1971 halaman 150-151 mencatat betapa serangan relawan Indonesia di Long Jawi tanggal 28 September 1963 menewaskan operator radio, beberapa prajurit Gurkha, dan Pandu Perbatasan (Border Scout). Long Jawi sempat dikuasai sebelum akhirnya Pasukan Gurkha menyerang balik setelah mendapat bala bantuan.
Di balik perjuangan Paraku-PGRS dan relawan Indonesia, sebagian besar operasi militer selama konfrontasi tidak mencapai hasil memuaskan. Mantan Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) Tanjung Pura Soeharyo alias Haryo Kecik dalam memoirnya mencatat, gerakan pasukan dan gerilyawan di wilayah Kalimantan selalu bocor dan diketahui lawan. Menurut Soeharyo, kebocoran justru terjadi di tubuh militer dari Jakarta.
Adapun dalam laporan ilmiah Benny Subianto disebutkan operasi Paraku-PGRS dan relawan tidak mendapat dukungan penuh dari Angkatan Darat (AD) yang dikenal sebagai kubu anti komunis semasa konfrontasi.
Setelah Jakarta-Kuala Lumpur berdamai melalui diplomasi di Bangkok, Paraku-PGRS harus diberantas sebagai musuh bersama. Itulah ironi sejarah yang terlupakan ketika kawan harus berubah menjadi kambing hitam/lawan (Disadur dari tulisan Iwan Santosa).

Sumber: http://goenaar.blogspot.com/2009/11/paraku-pgrs-kambing-hitam-paska.html

Wednesday, September 8, 2010

Taib Must Go!

Rakan Sepejuang Meninggalkan Komen Ini Di Dalam

 Blog Raban Dayak Baru:

hostage88 berkata...

Brother help promote TMG. TMG = Taib Must Go 
is a civil society movement
 and is apolitical. Aim is to exert pressure and harnes support from
 Sarawakians to ensure Taib no longer overstay his welcome and
 ensure change in the 10th Sarawak State Elections.

http://www.facebook.com/taibmustgo

The promoters of this new movement will contact you 
Mr Haris for some advice as far as activities is concerned.

For starters, T-Shirts will be printed and hopefully, they are 
able to organise social gatherings in all towns in Sarawak. 
Voter Registration exercise will also be organised.

Lets see whether we can change the mindset of timid 
Sarawakians and how many will show their faces and 
show up to be counted.

We need all the support and advice from
 Civil Society groups.

Powered By Blogger